Oleh:
Sindu Dwi Hartanto, Tantan Hermansyah, Rina Mardiana
Riset Dinamika Penguasan Lahan di Kampung Laut 2009
Riset Dinamika Penguasan Lahan di Kampung Laut 2009
a. Hubungan manusia dengan tanah
Dalam Undang-undang Pokok Agraria No 05 Tahun 1960 disebutkan bahwa hubungan manusia dengan tanah bersifat abadi. Oleh karena bersifat abadi, maka hubungan ini melahirkan konstruksi dinamis antar manusia dengan alam, manusia dengan manusia lain, dan manusia dengan sang khalik. Hubungan ini ketika semakin mapan (establisment) secara antropologis disebut sebagai kebudayaan.
Antropolog besar, Koentjoroningrat, menyebutkan bahwa kebudayaan hanya bisa didapatkan jika diperoleh melalui medium belajar. Dengan medium belajar ini manusia kemudian mengkonstruksi alam sekitarnya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan hidupnya.
Dalam sosiologi pengetahuan, relasi konstruktif tersebut kemudian melahirkan realitas atau fakta-fakta. Peter L Berger (1990) , menyebutkannya sebagai relasi kontruksi sosiologis masyarakat yang dibangun pada tiga aras secara dialektis, yaitu: internalisasi, eksternalisasi, dan obyektifikasi. Internalisasi adalah transformasi dari dunia obyektif menjadi dunia subyektif manusia. Misalnya sebuah masyarakat yang dibangun kemudian berusaha menerjemahkan kepentingannya dalam masyarakat di mana mereka hidup. Agar eksistensinya diakui, maka mereka melakukan proses eksternalisasi. Karena eksternalisasi adalah proses penumpahan aktifitas fisik dan mental secara terus menerus. Obyektivasi adalah pencapaian hasil aktifitas fisik dan mental manusia yang kemudian menjadi sesuatu yang ada di luar manusia. Obyektivasi adalah proses penjarakkan manusia dari apa yang diproduksi oleh dia selama ini. Di sinilah kemudian manusia bahkan mulai mengkritisi apa yang sebelumnya merupakan sesuatu yang dilakukan.
Bagi Berger, konstruksi sosial itu merupakan cara untuk memahami masalah pandangan hidup masyarakat (Weltanschaung). Sebab dengan mengetahui pandangan hidup itulah, apa yang menjadi sesuatu yang dibaliknya, bisa didalami lebih jauh.
Dalam konteks definitif seperti yang dikosntruksikan oleh Berger, maka relasi manusia dengan tanah pun bisa dilihat dari perspektif hubungan dialektika sosial. Di Kawasan Segara Anakan, relasi dialektis antara manusia dengan tanah, setidaknya bisa dipetakan sebagai berikut: pada awalnya, penduduk Segara Anakan adalah nelayan yang kehidupan sosial ekonominya sangat diwarnai oleh hubungan mata pencahariannya itu. Oleh karena mata pencaharian sebagai nelayan itu, mereka membiarkan hutan-hutan mangrove di sekitar mereka bisa hidup subur dan damai. Sehingga Laguna Segara Anakan yang merupakan kawasan pesisir yang luasnya kira-kira mencapai 23.836,5 ha dan lebih dari 9.597 ha diantaranya dipenuhi dengan hutan bakau itu terjaga dengan baik.
Masalah timbul ketika pola-pola pencarian nafkah berubah, dan juga tekanan demografis, serta perubahan ekologi yang ada di sekitar kehidupan mereka. Perubahan pencarian nafkah muncul seiring dengan munculnya Tanah Timbul di tengah Laguna yang kemudian perlu dikelola dengan pendekatan yang berbeda. Akhirnya, Kampung Suku Laut yang merupakan warga asli Segara Anakan tidak bisa apa-apa ketika banyak pendatang yang mengelola area atau tanah baru tersebut. Meski ada sebagian dari Suku Kampung Laut yang ikut bertani, tapi jumlahnya sangat sedikit.
Kemudian dengan kedatangan penduduk luar, masalah demografi pun muncul. Dalam proyeksi penduduk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 6 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Segara Anakan hanya sampai 12.488 jiwa saja. Namun berdasarkan survey sosial ekonomi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA), jumlah penduduk di Kecamatan Kampung laut mencapai 14.540 jiwa.
Yang terakhir adalah perubahan ekologi sebagai akibat dari tekanan jumlah penduduk dan adanya pola-pola perubahan pencarian nafkah di kalangan masyarakat daerah Segara Anakan sendiri. Hutan-hutan bakau yang tadinya luas, sudah banyak yang berubah karena perubahan mind set yang terjadi pada masyarakat yang hidupnya menggantungkan diri kepada tanah.
Masalah-masalah di atas (perubahan demografi, pola perubahan pencarian nafkah, dan perubahan ekologi) jika menggunakan konstruksi Berger di atas, akan terus terjadi secara dialektik. Nilai-nilai kultural yang selama ini melekat pada masyarakat Kampung Suku Laut, misalnya, pasti mengalami proses-proses adaptasi dengan kultur baru yang datang atau yang dirumuskan ulang.
Begitu juga pola-pola penguasaan tanah, sistem pertahanan hidup, dan lain sebagainya, pasti juga mengalami perubahan. Hanya saja, apakah perubahan-perubahan tadi menyebabkan terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakatnya atau tidak, asumsi ini harus terus digali dan dijawab.
b. Potensi yang terpendam
Ada beberapa potensi besar kawasan Segara Anakan sehingga banyak terkenal di hampir seluruh penjuru dunia yaitu: Pertama, menurut hasil penelitian dari LIPI Jakarta dan Perum Perhutani menyebutkan bahwa potensi sumber daya hayati perikanan di daerah Segara Anakan dan sekitarnya adalah mencapai 26.620 ton/tahun. Potensi hasil perikanan tersebut bernilai sekitar 30 milyar/tahun. Nilai utama tertinggi berasal dari potensi sumber daya udang-udangan yang berlimpah di sekitar Segara Anakan. Hutan mangrove terbesar yang memiliki beraneka ragam jenis ikan, tumbuhan, dan hewan lainnya. Segara Anakan memiliki 45 jenis ikan yang menetap, dan singgah untuk bertelur, serta ikan yang bermigrasi pada musim-musim tertentu saja. Di Segara Anakan terdapat 28 jenis tumbuhan yang mampu hidup dan berdampingan menguatkan hutan mangrove sebagai sebuah ekosistem hutan dengan 20 jenis burung dengan beragam nama lokal yang menyertainya. Dengan potensi yang begitu besar sebagai lumbung hasil laut, masyarakat di sekitarnya masih mempunyai tingkat kesejahteraan yang memprihatinkan. Kondisi kemiskinan masyarakat di sekitar tidak signifikan dengan potensi kekayaan sumber laut yang berlimpah.
Kedua, perkembangan tanah timbul juga memberikan kesempatan kepada masyarakat di sekitarnya untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan kondisi ekologisnya. Masyarakat nelayan mendapatkan tanah-tanah baru untuk perumahan, lahan pertanian, lahan peternakan, dan perikanan darat air tawar. Mereka juga bisa memberikan tambahan penghasilan kepada keluarga di sela-sela waktu setelah melaut atau diwaktu ombak besar yang mamaksa mereka untuk tetap tinggal di rumah. Pekerjaan mereka di rumah adalah untuk menggarap tanah dan mengelola sumber daya agraria berupa tanah untuk kepentingan keberlanjutan keluarganya. Pertanyaannya: bagaimanakah masyarakat melakukan proses adaptasi sistem yang terkait dengan masalah pertanahan ini? Bagaimana sistem okupasinya, tenurialnya, tenancynya, dan yang lainnya.
c. Konflik pertanahan
Perkembangan yang meluas terhadap keberadaan tanah timbul ternyata tidak memberikan solusi yang diharapkan masyarakat yaitu untuk memberikan kehidupan yang lebih layak sebagai nelayan dan petani sekaligus. Sedimentasi pasir yang dimobilisir oleh arus air Sungai Citandui memberikan dampak berkurangnya hasil tangkapan ikan karena kerusakan kondisi ekologis di perairan Segara Anakan. Sementara, tanah timbul sebagai alternatif utama dalam akses terhadap lahan dan pengelolaannya menuai masalah. Pertanyaannya: bagaimana peta konflik agraria ini. Siapa lawan siapa? Bagaimana pola perebutannya? Siapa yang diuntungkan dari konflik horizontal ini? Bagaimana Pemerintah menyelesaikan konflik ini.
d. Masalah yang muncul
Dari berbagai data awal dan asumsi yang dibangun untuk riset ini, maka beberapa permasalahan yang muncul yang bisa diidentifikasi adalah:
1. Kemiskinan
Kemiskinan ini bisa dipetakan dalam dua perspektif. (1) Kemiskinan yang sudah ada sejak dulu. Masyarakat ini miskin karena tidak adanya perubahan paradigma dalam menangani kehidupannya. Padahal tantangan dan realitas yang dihadapi sangat berbeda. Secara teoritis, kemiskinan ini merupakan kemiskinan bawaan. Dan (2) Kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur atau sistem. Baik secara langsung atau tidak. Kemiskinan struktural yang secara tidak langsung bisa dilihat jika pemerintah TIDAK memberikan stimulus bagi masyarakat Segara Anakan mereka bisa hidup lebih sejahtera. Sedangkan kemiskinan struktural langsung bisa dilihat jika pemerintah malah memberikan berbagai hak kepada pengusaha kaya sehingga masyarakat di situ menjadi semakin miskin.
Selain itu, kemiskinan terjadi akibat dari biaya hidup yang semakin mahal sementara pendapatan menurun atau tetap, karena tidak optimalnya sumber-sumber ekonomi yang menyejahterakan.
2. Pendidikan yang rendah
Pendidikan masyarakat yang masih memperihatinkan baik dalam bentuk non-formal maupun pendidikan formal yang disediakan oleh pemerintah, atau yang dikelola oleh masyarakat.
3. Infrastruktur yang buruk
Infrastruktur yang buruk menyebabkan realitas kemiskinan mereka berlapis. Sebab infrastruktur yang buruk menyebabkan mereka seolah-olah ada dalam keterasingan. Keterasingan mereka dari sumber-sumber penghidupan mengakibatkan pemenuhan sumber hidup tidak terjangkau karena membutuhkan mobilisasi yang relatif jauh dan biaya yang mahal. Begitu juga dalam masalah distribusi hasil-hasil produksi yang menyebabkan pendapatan mereka makin mengecil karena biaya mendistribusikan hasil-hasil produksi kepada masyarakat luas menjadi terhambat. Puncaknya perputaran uang lambat.
4. Tenaga Kerja Produktif berkurang
Mobilitas penduduk dan migrasi penduduk untuk menjadi tenaga kerja di kota dan di luar negeri yang tinggi menyebabkan tenaga kerja produktif berkurang. “Lari”nya penduduk usia produktif ke luar ini tidak bisa disalahkan karena kerja di kota atau luar negeri memang telah menjadi alternatif jalan keluar dalam meraih kecukupan kebutuhan hidup yang setiap hari selalu meningkat.
5. Perubahan pola pencarian nafkah
Setiap perubahan skill memang membutuhkan ongkos yang besar. Begitu pula dengan masarakat Kampung Suku Laut yang juga berusaha untuk beralih profesi dari nelayan ke petani. Kondisi yang merupakan bentuk keterpaksaan mereka untuk beralih mata pencaharian dari penjelajah lautan sebagai nelayan menjadi petani amatiran ini sebagai akibat kerusakan ekologis dasar laut yang terserang endapan lumpur dari aliran Sungai Citandui. Karena skill yang amatir ini, maka banyak warga Kampung Suku Laut ini tidak bisa menjadi sejahtera karena mereka kalah bersaing dengan petani pendatang yang lebih berpengalaman dan senior di bidang pertanian lading / daratan.
6. Ekologi pertanian yang tidak stabil
Sementara itu dalam sistem agro ekologinya sendiri terjadi masalah yang sifatnya operasional, yakni terjadi kesulitan pengelolaan lahan pertanian karena kondisi alam yang dipengaruhi oleh iklim laut yang pasang surut. Akibatnya banyak lahan yang tidak optimal karena kadar garam yang tinggi. Akibatnya, karena iklim seperti ini ditambah dengan pengetahuan yang terbatas, para petani ini tidak bisa berpenghasilan dengan baik
e. Respon Pemerintah
Sebenarnya pemerintah sudah menyadari akan masalah tersebut. Oleh karena itu, dari beberapa permasalahan di atas, pemerintah memandang perlu juga untuk melakukan pembangunan kawasan Segara Anakan di muara Sungai Citandui yaitu:
1) Bantuan alat tangkap untuk mengembangkan sektor perikanan yang menjadi basik mata pencaharian mereka.
2) Bantuan ternak sebagai solusi untuk mengembangkan sumber daya daging untuk masyarakat di sekitarya.
3) Bantuan permodalan yang diberikan kepada kelompok usaha sebagai stimulus untuk meningkatkan perekonomian masyarakatnya.
4) Bantuan beras raskin sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan masyarakat miskin.
5) Bantuan pembibitan ikan tawar.
6) Bantuan pengukuran dan pembatasan luasan tanah yang menjadi hak kelola dan hak milik baik dalam bentuk sertifikat atau surat berharga lainnya.
Selain program di atas, pemerintah juga melakukan pembangunan lain yaitu:
1) Pembangunan sarana jalan dan jembatan.
2) Pembangunan saluran listrik ke desa.
3) Pembangunan sarana kesehatan berupa Puskesmas Pembantu lengkap dengan pekerja kesehatan (seperti bidan desa, dan mantra kesehatan) di masing-masing desa.
4) Pembangunan sarana pendidikan yaitu sekolah SD dan SMP, walaupun kondisinya masih sangat memprihatinkan.
5) Pengerukan saluran Sungai Citandui.
6) Mengembangan kawasan Segara Anakan sebagai kawasan wisata yang menjadi asset daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Usaha pemerintah dalam rangka melakukan pembangunan dan pengembangan kawasan Segara Anakan masih memberikan peluang masalah yang terjadi di wilayah ini. Secara singkat beberapa permasalahan yang muncul kaitannya dengan permasalahan penguasaan lahan di kawasan Segara Anakan adalah:
1) Jumlah penduduk meningkat baik peningkatan penduduk alami maupun meningkatnya arus mobilitas penduduk masuk ke wilayah Segara Anakan. Hal ini juga berakibat pada meningkatnya nilai lahan menjadi bertambah baik fungsi maupun kemanfaatannya oleh masyarakat lokal maupun pendatang.
2) Hak kepemilihan lahan yang tidak berdasarkan pengaturan yang jelas. Permasalahan tapal batas tanah timbul yang tidak jelas kepemilikannya dan hak pengelolaan tanah oleh masyarakat yang dipatok (claiming) oleh sebagian orang secara sepihak.
3) Ketidakjelasan atas Keberlanjutan mata pencaharian masyarakat lokal sebagai nelayan dengan hasil laut yang sekarang dari tahun ke tahun semakin menurun.
4) Kendala perubahan mata pencaharian masyarakat lokal yang sudah terlanjur menjadi petani daratan karena pengalaman dan kemampuan tani yang masih kurang dan perubahan musim pasang surut air laut.
5) Meningkatnya kerusakan hutan mangrove sebagai salah satu sumber daya alam kelautan yang tak ternilai untuk memberikan dukungan terhadap eksistensi ekosistem laut yang seimbang.
No comments:
Post a Comment