Wednesday 7 April 2010

FORUM WARGA SEBAGAI PILAR GERAKAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA


Oleh: Putut Gunawan


GOLONGAN KEKARYAAN

Mungkin pandangan saya keliru. Ketika Bung Karno merasa jengah terhadap ulah para pelaku partai politik dalam parlemen – yang waktu itu menggunakan sistem parlementer – di mana regime perdana mentri menjadi bulan-bulanan dan jatuh bangun, dan pekerjaan besar menstrukturkan sistem pemerintahan republic yang baru lahir, boleh dibilang gagal, maka Bung Karno pun berkobar-kobar menyerukan pentingnya unsure golongan kekaryaan sebagai representasi kelompok fungsional dalam parlemen, sehingga demokrasi “yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan” memperoleh legitimasi aktualnya dari representasi lapis masyarakat non partai politik (non party list entity).

Urgensi kehadiran golongan fungsional yang kemudian disebut
“golongan kekaryaan” dalam parlemen ini disadari atau tidak serta dikaitkan atau tidak pada saat itu, sesungguhnya merupakan konsepsi ide dasar akan pentingnya representasi masyarakat sipil di dalam demokrasi procedural di Indonesia.  Yang mana, ide ini menganut asumsi bahwa untuk mengatur sistem pemerintahan Negara, tidak semata-mata hanya diserahkan kepada representasi partai politik yang berorientasi kekuasaan. Celakanya, ide ini dibelokkan di tengah jalan oleh Suhardinam Cs (Soksi) menjadi “golongan karya” (Golkar) yang merupakan pseudo partai politik dan kemudian oleh Suharto ditempelin label sebagai Organisasi Peserta Pemilu (OPP) yang bukan partai politik.

Sesungguhnyalah, pada saat itu Suharto telah menempelkan pilar pendukung kekuasaannya berupa bangunan kekuatan masyarakat sipil terorganisir yang bukan partai politik dalam sistem plitik otoritarian di Indonesia. Selanjutnya, oleh beberapa pengamat kritis, posisi golongan kekaryaan yang demikian itu – bukan partai politik tetapi ikut pemilu – digolongkan sebagai terobosan sayap semu demokrasi. Yang kemudian berkembang sebagai kolusi golongan pendukungan sistem ekonomi oligarki yang mencengkeram republic ini sepanjang 32 tahun tarikh kekuasaan Suharto, dan masih tersisa cengkeramannya hingga sekarang. Lihat kasus lumpur Lapindo yang hingga kini belum jelas ketetapan pemerintah mengenai siapa yang harus bertanggung-jawab.

Ide awal golongan fungsional yang melahirkan sistem demokrasi gotong royong itu, gagal karena “pembajakan” terjadi pada ketika isu perlunya koordinasi antar wakil kelompok fungsional tersebut merasa perlu mengkelompokkan diri untuk mengkondisikan representasi mereka di depan kompetitornya di parlemen, yakni wakil-wakil dari partai politik.

Sekber Golongan Kekaryaan yang diintrodusir Suhardiman pada tahun 60-an merupakan pangkal dari sabotase demokrasi gotong royong, yang sebenarnya nyaris merepresentasikan dasar-dasar konsep keterwakilan masyarakat sipil non partai politik di parlemen. Hingga kemudian Suharto menetapkan 3 OPP (Organisasi Peserta Pemilu) yang terdiri dari dua partai politik dan Golongan Karya. Hanya saja, ketika Golongan Karya yang dimaksud kemudian mengembangkan sistem organisasi yang tidak berbeda dengan prinsip-prinsip organisasi partai politik, maka sesungguhnya menjadi rancu karena perwakilan Golongan Kekaryaan tidak lagi mewakili kelompok fungsional sebaagi yang ada dalam regimentasi sosial masyarakat Indonesia. Namun, didominasi kader-kader yang diintrodusir untuk mobilisasi personal dukungan secara sentralistik yang mengabdi kepada kepentingan otoritarianisme Suharto. Tidak lagi mencerminkan kepentingan organisasi fungsional yang menjadi kino-kino di dalamnya.

Selain itu, golongan kekaryaan yang sentralistik dan menjelma sebagai pseudo partai politik tersebut juga terkontaminasi oleh j alur KBA (Keluarga Besar ABRI) yangjuga menyatakan klaim sebagai golongan fungsional kekaryaan.

Hal ini merngakibatkan buntunya progresi pendewasan kesadaran politik karena ruang tumbuh kembang kesadaran civic culture telah direkayasa sedemikian represif sebagai angkatan masa mengambang yang hanya dibutuhkan suaranya untuk mengisi pundi-pundi dukungan bagi regime Suharto. Dan selebihnya adalah sekedar entitas massa yang abstrak sebagai pengikut idiologi pembangunan yang loyal dan dedikatif. Bahwa kemudian arahnya berujung pada krisis berkepanjangan dan hutang luar negeri yang tak kunjung lunas, serta porak porandanya lingkungan hutan dan laut diikuti oleh menguapnya kekayaan tambang mineral dan minyak, adalah kenyataan yang harus kita hadapi sekarang dan oleh generasi yang akan datang.

FORUM WARGA SEBAGAI PILAR  MASYARAKAT SIPIL

Imaginasi mengenai masyarakat sipil merupakan harapan akan adanya kekuatan masyarakat dari pelbatai respresentasi sector sosial, yang mengembangkan kesadaran sebagai warga Negara – tentu saja m enyangkut hak dan kewajiban – dan serta memiliki kepedulian terhadap pelbagai persoalan yang berkaitan dengan upaya pemenuhan hak-hak dasar warga serta peningkatan kualitas hidup warga dengan melandaskan diri pada prinsip-prinsip dan tata nilai yang relevan dengan norma-norma sosial dan ketentuan hukum yang berlaku.

Forum warga dalam hal ini adalah representasi warga Negara yang mengembangkan kesadaran dan aktif mengorganisir diri sebagai relawan sosial dalam konteks pemenuhan hak dasar dan pengembangan tata lingkungan interaksi sosial yang lebih baik dan kondusif bagi tumbuh kembangnya mobilitas sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, baik secara horizontal maupun vertical. Dengan tujuan untuk mengembangkan peluang bagi terjaminnya kehidupan yang lebih layak dan kualitas layanan public yang lebih baik. Yang kemudian juga disebut sebagai warga Negara yang aktif, atau warga yang terjaga.
Konsep warga yang aktif (active citizenship) mengandaikan asumsi adanya dinamika sosial dan budaya yang sedemikian rupa sebagai landasan tumbuh kembang bagi kesadaran kritis atas hubungan antara warga- dengan sederet kebutuhan hak-hak dasarnya – dengan p ola perilaku penyelenggaraan pemerintahan Negara. Hal ini berdasar dari essensi keberadaan Negara sebagai entitas untuk mempertautkan keberesamaan nasib dan cita-cita. Tujuan bersama, dalam hal ini memajukan kehidupan warganya.

Oleh karena itu, fokus perjuangan active citizen bukan semata bagaimana mengembangkan negosiasi kolektif dengan pemangku kuasa dalam rangka melahirkan policy yang lebih berpihak bagi pemenuhan hak dasar. Melainkan juga bagaimana mengembangkan sistem nilai yang dapat menyuburkan civic culture. Sistem nilai yang dialasi oleh kesadaran akan hak dan tanggung-jawab sebagai warga yang aktif dan peduli.

Dan dengan sendirinya perjuangan Forum Warga merupakan arena luas yang bertumpu pada upaya mendorong transformasi sosial dan budaya bagi penopang tumbuhnya sikap dan perilaku pengelolaan Negara yang lebih arif dan bijaksana. Tidak semata memperjuangkan secara parsial perubahan kebijakan, atau pelayanan public serta pengawasan terhadap epngelolaan pembelanjaan uang Negara, lebihd ari itu Forum Warga merupakan upaya mengetengahkan kepada khalayak pentingya nilai-nilai dasar dan kesadaran atas pentingnya menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai acuan perilaku kolektif dalam rangka menumbuhkan budaya kewargaan, sebagai dasar p engembangkan budaya demokratis dalam pengertian luas maupun dalam capaian praktik sehari-hari.

PERAN IDEAL FORUM WARGA

Dalam istilah menterengnya, Forum Warga dapat memainkan peran secara efektif sebagai community resource center, di mana pelbagai informasi yang dibutuhkan warga dapat disebar-luaskan sesuai asas kerelawanan. Sekaligus juga sebagai community learning center di mana segala sumber daya pengetahuan dapat disediakan untuk dipertukarkan dalam proses pembelajaran bersama yang dialasi oleh rasa saling menghargai dan kerjasama yang setara.

Forum Warga sebagai simpul social regrouping baik yang lahir sebagai respon reaktif terhadap permasalahan tertentu, maupun yang dikembangkan dari kesadaran konseptual akan perlunya ruang public untuk saling bertukar sapa, berdialog dan belajar bersama, maka pada akhirnya juga dapat memainkan peran sebagai fasilitator dan mediator bagi kelompok-kelompok masyarakat yang membutuhkan saluran-saluran komunikasi politik dengan penentu kebijakan berkait dengan nasib hajat hidupnya.

Forum Warga dalam perspektif tata kepemerintahan yang baik juga dapat m emerangkan diri sebagai mitra kritis bagi penentu kebijakan yang meliputi agenda-agenda sebagai berikut:

1.     Komunitas control kebijakan. Forum Warga dapat memberikan input berupa kritik dan prediksi dampak positif maupun negative atas sebuah rencana kebijakan, dengan sendirinya atas input tersebut pemangku keibjakan dapat melakukan penyempurnaan kebijakan sebelum diberlakukan.

2.     Sebagai early warning system. Forum Warga dapat memberikan reaksi kritis terhadap kebijakan yang sudah terlanjur diberlakukan, untuk memperoleh perbaikan pada tahap implementasinya.

3.     Moral force. Forum Warga dapat aktif memberikan tanda-tana pengingatan baik melalui pendekatan dialogis maupun tekanan kepada penyelenggara pemerintahan Negara untuk selalu ingat pada misi utama penyediaan layanan public dan pemenuhan kebutuhan dasar, terutama dalam rangka  penanggulangan kemiskinan.

4.     Collective learning center. Forum Warga sebagai wahana berinteraksi untuk mengembangkan model pembelajaran melalui tukar menukar informasi, pengalaman dan pemikiran di antara sesame penggiat Forum Warga, dan serta memberikan juga layanan informasi kepada masyarakat seluas-luasnya.

No comments:

Post a Comment