Monday 14 January 2008

KEBANGKITAN AGRARIA MENUJU GERAKAN SIPIL

Kebangkitan Agraria Menuju Gerakan Sipil
Oleh: Sindu Dwi Hartanto

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai wilayah yang sangat luas dan potensi yang tidak kalah dengan benua lainnya di dunia. Pandangan negara kepulauan merupakan suatu paradigma kesatuan yang tidak lepas dari batasan dan rasa satu wilayah dan mengabaikan banyak perbedaan (sara) di dalamnya. Kekayaan yang bersumber dari
kekayaan agraria merupakan suatu sumber kekayaan yang membuat rakyat dapat menghidupi dan dihidupi oleh sumberdaya agraria yang ada. Sumber daya agraria dapat disebutkan sebagai sumber-sumber kekayaan yang dimiliki oleh suatu Negara untuk menghidupi rakyatnya, dalam hal ini bisa dalam bentuk kekayaan alam dan kekayaan lainnya.
Dalam hal ini, pembagian sumberdaya agraria merupakan faktor yang sangat struktural dan politis, dan sangat terkait dengan kondisi kondisi ekonomi dan penguasaan negara. Ketimpangan akan menjadi bahan perebutan sumber-sumber ekonomi dan agraria melalui kekuasaan politik.

Padahal kalau kita melihat kenyataan rakyat negeri ini masih banyak yang mengalami ketidak adilan dalam pembagian dan pemanfaatan kekayaan agraria. Beberapa kenyataan tersebut dapat dilihat dari: pertama, adalah kemiskinan rakyat desa yang mengalami penyusutan dalam pemilikan maupun pemanfaatan lahan garapan baik sawah maupun untuk lokasi pemukiman. Penduduk desa mengamali keterdesakan lahan dengan meninggalkan tanah kelahirannya. Strategi penduduk desa untuk memperoleh pengganti atas berkurangnya lahan adalah beralih pekerjaan menjadi buruh dan pekerja di kota-kota atau menjadi tenaga kerja di luar negeri (TKI).

Kedua, ketimpangan kepemilikan lahan yang membuat akibat struktur sosial politik masyarakat yang tidak dapat memberikan rasa keadilan dalam pengelolaan lahan yang mengutamakan masyarakat miskin. Ketidakadilan dalam pembagian tanah dan penguasaan lahan dalam pengelolaan dan pemanfaatannya oleh penguasa lokal yang membuat masyarakat bawah semakin tertekan dalam kondisi kemiskinannya.

Ketiga, ketidakberdayaan masyarakat miskin dalam usaha melakukan gerakan rakyat untuk melakukan reformasi agraria. Konsolidasi rakyat gerakan agraria tidak pernah memberikan kekuatan penekan untuk melakukan perubahan dari rakyat (reform by leverage). Perampasan hak atas pengelolaan sumberdaya agraria dilakukan banyak pihak yang dianggap sah untuk membodohi rakyat sebagai objek dari pembangunan. Oleh karena itu, pernah dimunculkan undang-undang yang mengatur tentang pemanfaatan ruang publik yang mana pemerintah dapat mengatas-namakan kepentingan umum untuk melakukan penggusuran. Sebagai contoh, kemiskinan di kota besar biasanya dipenuhi oleh masyarakat yang berjubel, bertumpuk dalam suatu wilayah yang dianggap illegal oleh negara. Proses penggusuran di Jakarta mensisakan sejarah panjang dimana rakyat harus selalu dikalahkan oleh kepentingan yang dianggap oleh negara sebagai usaha menuju pembangunan dan modernisasi. Rumah-rumah rakyat dikalahkan untuk mendirikan gedung-gedung bertingkat yang dianggap menghasilkan banyak rente dan penghasilan bagi kelompok tertentu.
Keempat, keberpihakan negara dalam hal ini adalah aparat pemerintahan dan birokrasi yang nakal mulai melancarkan aksinya untuk memperolah dan mengakumulasikan sumber-sumber agraria. Di lain sisi, para pejabat juga memberikan kewenangannya untuk berpihak kepada para penguasa modal agar memperoleh sumber-sumber agraria dengan mudah.

Kelima, adalah tekanan global memberikan ketidakberdayaan negara untuk melakukan kuasanya atas sumber-sumber agraria. Penguasaan lahan mudah dialih-fungsikan untuk kepentingan inverstasi luar negeri. Masyarakat luar negeri bagaikan gurita yang mencengkeram kekuasaan negara atas pengelolaan hak atas sumber-sumber agraria.
Pandangan tersebut bukan tidak mungkin dapat dilepaskan dengan kekuatan sendiri, dan dengan gerakan sosial rakyat yang semakin terhimpit, namun dalam kondisi sekarang masih dimungkinkan bahwa proses perubahan itu akan sangat sulit.

Ini bukan suatu psimisme, namun dengan potensi yang sangat berlimpah bagaimana kebijakan negara untuk mengatur dan membagi sumberdaya agraria untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyatnya ketika kondisi dalam negeri dan tekanan internasional dalam bentuk apapun tidak lagi kuasa dibendung? Itu suatu pertanyaan yang menarik untuk diperbincangkan terutama dikaitkan dengan proses pemiskinan yang ternyata tidak pernah lepas dari miskinnya pemanfaatan atas sumber-sumber agraria tersebut. Dapat dikatakan bahwa kenyataan kemiskinan rakyat Indonesia adalah merupakan dampak dari sistem agraria yang tidak memberikan peluang untuk melakukan kemandirian dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sejarah Konteks Agraria Di Indonesia
Perjuangan untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan asset atas sumber-sumber agraria untuk kemandirian dan kesejahteraan rakyat menjadi penting untuk dikedepankan sebagai paradigma negara. Perjuangan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya agraria secara mandiri tidak dapat dijauhkan dari kajian sejarah tentang berdirinya negara ini sebagai negara dunia ketiga yang berawal dari proses penjajahan dan perjuangan atas kemerdekaan tersebut. Namun bagaimana kita melihat konteks kesejarahan dari perjuangan pengelolaan kemandirian atas sumberdaya agraria di negeri ini?

Dalam konteks kesejarahan yang dimaksud adalah cara pandang kita akan suatu pengelolaan sumberdaya agraria yang sekarang sudah berkembang tidak akan pernah terlepaskan dari faktor pendahulunya yang telah terjadi sebelum munculnya pergerakan perjuangan pembaruan agraria seperti sekarang ini.
Dalam konteks kesejarahan dapat kita bagi dalam beberapa tahapan yaitu:
1) tahapan penjajahan;
2) tahapan awal kemerdekaan;
3) dan tahapan lanjutan.

Pada tahapan pertama suatu yang menarik adalah bagaimana kita sebagai pemilik sumbedaya agraria dimobilisir untuk melakukan tata kelola, namun hasil yang didapatkannya dikuasai oleh negara lainnya.

Masalah agraria dalam masa penjajahan dapat dibagi dalam empat tonggak yang dibagi dalam:

• Pada tonggak pertama yaitu diperkirakan pada tahun 1811. Pada tonggak pertama, dimulai dari teori domein yang dikembangkan oleh Raffles yang ingin menerapkan sistem penarikan pajak bumi seperti apa yang dipergunakan oleh Inggris di India. Pada masa tersebut negara menganggap dirinya sebagai super-landlord. Dengan sistem seperti ini negara berhak memungut pajak kepada rakyatnya. Pada tahun 1811 terbentuklah suatu panitia penyelidikan dengan tugas melakukan penyelidikan statistik mengenai keadaan agraria. Hasil penyelidikan menyebutkan bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah. Berdasarkan hasil tersebut dilakukan sistem penarikan pajak bumi (landrente), setiap petani diwajibkan membayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanah garapannya.

• Pada tonggak kedua, tahun 1830 yaitu sejak kekuasaan kembali ke tangan Belanda, maka diciptakan sistem Cultuurstelsel atau yang sering terkenal dengan sebutan “sistem tanam paksa”. Sistem landrente yang diciptakan oleh Raffles dirubah yaitu bahwa pemilik tanah tidak usah lagi membayar landrente, tetapi 1/5 dari luas tanahnya harus ditanami dengan tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, seperti nila, kopi, tembakau, teh, tebu, dans ebagainya. Hasil dari tanaman 1/5 tadi harus diserahkan kepada pemerintah Belanda untuk diekspor ke Eropa.

• Pada tonggak ketiga, tahun 1848 yaitu suatu tonggak munculknya undang-undang Regerings Regelment (RR) 1854. Salah satu pasalnya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah dengan ketentuan yang akan ditetapkan dengan ordonasi. Hal ini dilakukan oleh kelompok gerakan liberal yang berperan sebagai pengusaha dan pemilik modal. Tujuan dari gerakan kaum liberal adalah 1) agar pemeintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) agar dimungkinkan terjadi penjualan tanah dan penyewaan. Karena tanah adat dan komunal tidak dapat diperjual-belikan atau disewakan. 2) agar dengan azas domein itu, plemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan murah.

• Pada tonggak keempat, tahun 1970 yaitu munculnya Agrarische Wet tahun 1870. Dalam Agrarische Wet yang paling berpengaruh adalah munculnya pernyataan yang menunjukkan bahwa “semua tanah yang tidak terbukti memiliki bukti hak milik (eigendom) adalah menjadi domain negara atau milik negara”.
Pada tahap kedua, yaitu tahap kemerdekaan.

Pada masa awal kemerdekaan dapat dilihat dengan beberapa tonggak sejarah yang menandainya yaitu:
1) Pada tahun 1948 sudah mulai dibentuk Panitia Agraria yang fungsinya untuk mengurusi masalah pertanahan di Indonesia.
2) Pada puncaknya muncullah UU No 5 Tahun 1960 (UUPA) tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan sebutan UUPA.
3) Munculnya panitia-panitia lokal untuk menguatkan wacana dan gagasan pemikiran tentang usulan-usulan dalam rangka menyusun hukum agraria. Ada beberapa panitia agraria dari daerah-daerah yaitu:
1) panitia Yogya (1948);
2) Pantia Jakarta (1951);
3) Panitia Soewahjo (1956);
4) Panitia Soenaio (1956);
5) Rancangan Sadjarwo (1960);

Pada tahap ketiga, yaitu tahap lanjutan. Dimulai dengan munculnya pemerintahan Orde Baru. Untuk mendorong usaha penguatan dan menurunkan UUPA dibuatkan UU No 56 Tahun Prp. 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Pada tahun 1979 pemerintah membuat pernyataan yang isinya pengukuhkan kembali bahwa UUPA tetap sah sebagai panduan dasar dalam memecahkan persoalan-persoalan pertanahan. Pada tahun 1979 juga dibentuk Panitia Nasional Agraria yang diketuai oleh Menpan. Penerapan UUPA mengalami banyak kendala sehingga tidak aplikatif dilapangan.

Beberapa kendala yang disebutkan oleh Patrick McAsuslan (1986, dalam Wiradi, 2000) yaitu:
1) hambatan politis psikologis berupa trauma-trauma seperti peristiwa “landreform-PKI” atau aksi sepihak.
2) hambatan hukum dimana UUPA memiliki kekuatan dan kelemahan. UUPA bersifat modern, tak membedakan antara pria-wanita, ras, dan agama, dan menghindari eksploitasi manusia oleh manusia lainnya. Di lain pihak konsep landreform UUPA itu kurang jelas, termasuk kedudukan hukum adat masih kurang jelas.
3) hambatan ilmiah, dimana ironisnya negara agraris yang besar seperti Indonesia hanya memiliki ahli agraris yang sangat sedikit.

Berdasarkan konteks sejarah di atas, kita dapat menyimpulkan kondisi masalah pertanahan di negeri ini tidak dapat diprediksi menguntungkan gerakan masyarakat sipil untuk keadilan agraria. Hal ini juga sempat dilontarkan oleh Usep Setiawan, sebagai Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), bahwa kondisi pertanahan di Indonesia kontemporer belum berubah dari zaman kolonialisme. Sengketa dan ketimpangan pemilikan serta penguasaan tanah adalah warisan penjajahan. Bung Karno dan kawan-kawan pada 1960-an sudah merintis usaha mengakhiri wujud nyata dari feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme itu melalui penataan ulang struktur penguasaan tanah (landreform). Oleh karena itu, penguatan sipil menuju gerakan agraria baru harus dilaksanakan dalam bingkai kepentingan penataan dan pengelolaan agraria berkeadilan dan menjaga nilai kesejahteraan masyarakat.

Menuju Gerakan Sipil untuk Agrarian Reform
Dominasi perubahan dalam suatu sistem pemerintahan yang otoriter selalu dimunculkan dari atas. Inisiator dari perubahan selalu dari pemerintah, dalam hal ini adalah negara. Negera mempunyai inisiator yang tidak jarang membuat kebijakan dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakatnya. Prinsip kenegaraan dan dan kerakyatan tidak dapat dikaitkan ketika partisipasi masyarakat bawah tidak diturut-sertakan dalam pengambilan kebijakan. Namun, praktek tersebut sangat mempertimbangan lingkungan politik yang tidak semua kalangan dapat mengikut-sertakan dirinya. Kegiatan politik didominasi oleh elit yang mempunyai banyak kepentingan yang tidak sedikit hanya mengabaikan kehendak rakyat.

Pada tataran ideal pertemuan antara arus bawah dan arus atas merupakan suatu kondisi yang menguatkan antara kepentingan negara dengan kepentingan rakyatnya. Seperti juga arus pembaruan desa yang ditelorkan oleh Dadang Juliantara (2002). Arus atas dimaknai sebagai gerakan yang mendorong terbentuknya pemerintahan yang dapat memberikan peluang dan berpihak kepada rakyatnya. Dalam arus bawah adalah masyarakat yang mana harus bergerakan melakukan konsolidasi menyatukan langkah dalam suatu kepentingan yang sama untuk mendorong dan melakukan perubahan kondisi ketimpangan dan ketidakadilan.

Reforma agraria menurut hemat penulis harus didorong juga oleh kuatnya konsolidasi sipil untuk gerakan agraria. Gerakan agraria adalah suatu usaha, upaya, dan usaha yang dilakukan secara kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merombak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat (Wiradi, 2000). Gerakan agraria harus berbasis pada kekuatan kepentingan atas tatanan agraria yang dikehendaki oleh masyarakat bawah. Dalam hal ini masyarakat bawah adalah masyarakat yang dominan berada dalam kelas ekonomi dan sosial terendah, dan dalam banyak masyarakat biasanya menempati kuantitas yang dominan.

Dominasi gerakan rakyat harus berbasis pada kekuatan dan koordinasi untuk mencapai suatu tujuan bersama yaitu mencapai suatu tatanan agraria yang mendorong keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

No comments:

Post a Comment