Thursday 10 January 2008

Mengembangkan Prinsip Akses Informasi di Kabupaten Gungungkidul

Oleh: Sindu Dwi Hartanto

Kemajuan teknologi informasi pada dekade terakhir adalah suatu perkembangan yang luar biasa. Kemajuan teknologi informasi merupakan dimensi perubahan yang sangat menentukan perubahan sosial masyarakat. Perubahan di kota, di desa tidak dapat lagi memberikan batasan atas kebutuhan akses terhadap informasi. Akses informasi dianggap sebagai

dampak turunan dari proses perubahan tekonologi. Namun, pada kenyataannya, kita dapat memberikan banyak argumen rasional dan realistis bahwa akses informasi merupakan determinan itu sendiri. Munculnya, radio komunitas, televisi lokal, Hand-phone (HP) atau

telepon genggam, internet, munculnya lembaga-lembaga informasi, Kelompok Informasi Masyarakat, dll. Perkembangan tersebut tidak merata di setiap daerah, namun perkembangannya hampir dapat dikatakan melakukan perubahan yang tidak sedikit. Munculnya tower atau antena repeter, recever untuk televisi dan alat telepon genggam berdiri di setiap wilayah strategis, baik di kota maupun di desa.
Akses informasi di setiap daerah mempunyai dinamika tersendiri, walaupun dikatakan bahwa akses informasi sebagai determinan perubahan sosial dan peningkatan kemajuan masyarakatnya karena akses terhadap infrastruktur dan suprastruktur menjadi salah satu yang juga menjadi daya pendukung terhadap meningkatnya perkembangan akses informasi tersebut. Termasuk di dalamnya adalah kebutuhan akan berkembangya dinamika akses informasi kepada lembaga-lembaga publik di tingkat kabupatan.
Di Kabupaten Gunungkidul perkembangan akses informasi melalui media massa (mass media) tidak dapat diminimalisir. Dinamika akses informasi di Kabupaten Gunungkidul sudah mulai memberikan ruang-ruang terbuka bagi masyarakat untuk meningkatkan hak atas akses tersebut. Pada intinya akses informasi di Kabupaten Gunungkidul sudah berkembang hingga pada tiga prinsip untuk meningkatkan komunikasi antara Pemerintahan Daerah dengan masyarakatnya. Ketiga prinsip tersebut adalah:
Pertama, prinsip point to point. Pada prinsip pertama, akses informasi hanya dapat dilakukan pada proses komunikasi yang berlangsung dua arah antara satu dengan satu yang lain. Masing-masing, antara pengirim pesan dan penerima pesan harus menggunakan sarana dan medium yang sama. Misal, pembicaraan antara dua orang secara langsung (tatap muka), memakai telepon, atau HP. Isi komunikasi yang terjadi pun sangat tertutup. Pihak di luar kedua orang itu akan sangat terbatas aksesnya terhadap informasi yang dikomunikasikan. Kalaupun setelah itu keduanya mengomunikasikan hal-hal yang dibahas sebelumnya kepada khalayaknya/orang lain, ada kemungkinan terjadi bias, penambahan, serta pengurangan informasi yang disebarluaskan.
Kedua, prinsip point to many. Pada prinsip kedua, akses informasi hanya dapat dilakukan oleh satu pihak dan diteruskan hingga bisa diakses oleh banyak orang. Gambarannya seperti orang ceramah, pelatihan, sosialisasi, suara kentongan, siaran radio, dan televisi. Informasi bisa diakses dan tersampaikan langsung kepada lebih banyak orang. Namun, model ini merupakan komunikasi satu arah. Termasuk ketika sesi interaktif dilangsungkan, ketika penikmat siaran radio atau televisi bisa menyampaikan pesan yang bisa disebarluaskan melalui media tersebut, komunikasi yang terjadi dengan khalayak penerima informasi media tersebut tetap berlangsung satu arah.
Ketiga, prinsip many to many. Pada prinsip ketiga, akses informasi Komunikasi di sini berlangsung antara beberapa pihak secara bersama-sama. Gampangnya seperti ngobrol bareng. Sumber informasi bisa dari siapapun dan bisa dicandra oleh siapapun juga. Oleh karenanya, data dan informasi yang terkemas dan tersebar akan segera terverifikasi dan tervalidasi. Komunikasi model ini misalnya berlangsung melalui forum langsung (tatap muka), radio komunikasi (Rig, HT), conference instant messenger, forum diskusi, dll.
Namun, pada ketiga prinsip tersebut masih dapat ditambahkan sebagai prinsip mendasar dari akses informasi yaitu: prinsip many to point. Pada prinsip tersebut akses informasi diberikan kepada setiap orang terhadap satu orang, instansi, institusi, atau lembaga publik. Pada kerangka inilah, masyarakat mendapatkan haknya yang sebenarnya diatur oleh UUD 1945 (perubahan IV). Prinsip many to point perlu mendapatkan dukungan dari banyak pihak untuk memikirkan agar dapat segera terealisasi. Hal ini mengingat bahwa reformasi birokrasi sudah dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Peningkatan mutu pemerintahan menggunakan jalur reformasi birokrasi perlu adanya pengembangan akses informasi yang diberikan kepada seluruh masyarakat, tanpa terkecuali. Dinamika di lapangan juga menunjukkan meningkatnya antusiasme masyarakat, termasuk juga berkembangya kelembagaan informasi di masyarakat dalam formasi Kelompok Informasi Masyarakat (KIM).
Kebutuhan akses informasi berdasarkan prinsip many to point merupakan hasil dari kajian yang telah dilakukan oleh Lapera sebagai wujud dari proses inisiasi terhadap kegiatan terarah pada implementasi akses informasi di Kabupaten Gunungkidul. Penguatan implementasi akses informasi perlu di dukung oleh kajian akademis aplikatif dapat direalisasikan dalam bentuk format kerja lapangan. Artinya, inisiasi implementasi menuju regulasi dapat dilakukan dengan rinci dan mempunyai landasan yang kuat untuk segera direalisasikan dalam pertempuran politik di tingkat Dewan. Kerja Lapera dalam proses implementasi sudah beranjak pada memformat kajian draf Naskah Akademik sebagai landasan menguatkan usulan selanjutnya. Kerja lanjutan perlu dilakukan yaitu: pertama, melakukan penguatan kapasitas dari draf Naskah Akademik; kedua, memberikan ruang partisipasi para ahli dan pihak yang dianggap konsisten terhadap perjuangan akses informasi di Kabupaten Gunungkidul; ketiga, kembali menguatkan langkah perjuangan kedepan; keempat, mengembangkan strategi kerja menguatkan usulan kepada khalayak luas.

No comments:

Post a Comment