Monday, 14 January 2008

REFORMA AGRARIA DAN REPOSISI MILITER: Tragedi Desa Alas Tlogo-Jawa Timur

Reforma Agraria dan Reposisi Militer
Oleh: Widodo Dwi Putro
Tragedi yang terjadi di Desa Alas Tlogo, Pasuruan, akhir Mei lalu, mengingatkan falsafah masyarakat Jawa tentang tanah: sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati. Sejengkal tanah akan dibela sampai titik darah terakhir.
Bermula dari petani gurem
melihat kenyataan tanah untuk Puslatpur TNI justru dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis dengan menyewakannya kepada swasta. Inilah yang mengusik hati rakyat bahwa mereka dibohongi. Mereka dulu mau melepas tanah karena sadar tanah itu untuk kepentingan pertahanan negara, atau mungkin takut diintimidasi.
Karena status sosialnya semakin merosot dari pemilik lahan menjadi buruh tani tebu di atas bekas tanah miliknya, dan dimatangkan kemiskinan yang semakin parah, pendudukan oleh petani gurem secara sepihak menjadi dapat dipahami meski tidak dapat sepenuhnya dibenarkan menurut hukum formal.
Berfungsi sosial
Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UU No 5/1960), tanah berfungsi sosial, karena itu tanah tidak boleh ditelantarkan. Penelantaran tanah dapat menghilangkan hak milik, HGU, dan HGB atas tanah (Pasal 27, 34, 40 UU PA). Pertama, pemegang hak wajib mengizinkan pihak lain (terutama petani gurem) untuk memanfaatkan tanah melalui perjanjian yang diatur oleh pemerintah daerah atau instansi pemerintah lain. Bila diabaikan, maka kedua, tanahnya akan diproses sebagai tanah telantar sesuai Peraturan Pemerintah No 36/1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar.
Sayangnya, kita belum punya Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mempunyai ketegasan untuk menyatakan tanah itu telantar sehingga dapat menyebabkan hapusnya hak atas tanah. Apalagi jika tanah yang ditelantarkan kepunyaan militer (atau tanah swasta yang dijaga militer). BPN mempunyai data "sebukit" tentang tanah-tanah telantar yang tersebar di Tanah Air, tetapi belum ada penegakan hukum atas tanah tersebut.
Para pengusaha lebih suka menelantarkan tanah dengan harapan mendapat kelipatan harga di kemudian hari. Tanah-tanah telantar yang terhampar luas inilah sumber konflik, terutama "mengundang"? petani-petani gurem masuk secara sepihak.
Militer dan reforma agraria
Dalam sejarah reforma agraria di sejumlah negara, militer tidak selalu berhadapan dengan rakyat. Justru pengalaman mengajarkan bahwa reforma agraria yang berhasil selalu menyertakan pihak militer sebagai pengawal setia rakyat dan pemerintah yang sedang melaksanakan landreform. Misalnya Jepang, pelaksanaan landreform menjadi sukses karena dikawal oleh militer.
Tetapi, di Indonesia sejak tahun 1960-an sampai sekarang, posisi militer justru kontra reforma agraria, bahkan kemudian ambil bagian dalam sejumlah konflik agraria.
Dalam catatan KPA, dari 1.753 kasus (1970-2001), pihak militer termasuk yang paling sering berhadapan dengan rakyat. Tak kurang dari 29 persen kasus agraria melibatkan kaum pemanggul senapan ini. Akibatnya, banyak jatuh korban. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato awal tahun 2007 menyatakan akan melakukan reforma agraria dengan membagikan ribuan hektar tanah untuk rakyat miskin.
Kebijakan presiden tentang reforma agraria ini mempunyai landasan hukum, yakni UU PA dan UU No 56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Rencana pelaksanaan reforma agraria oleh presiden juga dapat dibaca sebagai instruksi dari panglima tertinggi yang mengandung pesan bahwa militer harus mereposisi diri dari "kontra reforma agraria"? menjadi "pengawal reforma agraria"?.
Reforma agraria intinya perombakan struktur kepemilikan tanah yang timpang menjadi lebih adil. Reforma agraria mengandung agenda landreform, yakni redistribusi tanah untuk rakyat miskin. Redistribusi tanah diawali "pengambilan sebagian tanah"? dari pemilik tanah yang melampaui batas dan/atau telantar untuk dibagikan kepada rakyat miskin. Tahap ini, peran militer sangat diperlukan untuk membantu polisi guna mengawal proses landreform supaya tidak terjadi benturan.
Apabila militer mampu mengawal reforma agraria dan meminimalisasi konflik, maka akan mengubah citra militer dari penjaga modal menjadi tentara rakyat. Sebaliknya, apabila militer masih berperilaku seperti di Pasuruan, maka ia akan dianggap sebagai penghambat terbitnya reforma agraria dan bukan mustahil semakin dijauhi oleh rakyatnya sendiri.
Widodo Dwi Putro Pengajar Politik Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram
Presiden Ditagih Lakukan Reforma Agraria
Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dituntut segera merealisasikan janjinya ketika kampanye untuk menjalankan reforma agraria. Peringatan Hari Agraria tahun 2005 hendaknya dijadikan momentum bagi Presiden untuk menunjukkan komitmen politik dalam mendukung reforma agraria, baik melalui peraturan perundangan maupun program konkret.
Demikian resolusi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam rangka peringatan ke-45 Undang- Undang Pokok Agraria tanggal 24 September 2005, yang juga diperingati sebagai Hari Tani dan Hari Tani Nasional. Sikap KPA ini disampaikan Sekretaris Jenderal KPA Usep Setiawan, Jumat (23/9) di Jakarta. Pendapat yang sama disampaikan Ahli Hukum Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB) Gunawan Wiradi. Menurut Usep, hampir setahun pemerintahan Yudhoyono berjalan, tetapi belum terlihat sedikit pun langkah konkret Yudhoyono mewujudkan janjinya melakukan reforma agraria.
Jangankan konsep dan strategi, sekadar menyampaikan statement bahwa pemerintah sedang menyiapkan reforma agraria sama sekali tak terucapkan. Ini benar-benar memprihatinkan, ujarnya.
Pemerintah justru cenderung mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif dengan janji awalnya untuk melakukan reformasi di bidang agraria. Ia mencontohkan lahirnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang menimbulkan persoalan karena semangatnya untuk kepentingan pemodal besar, bukan untuk kepentingan rakyat.

No comments:

Post a Comment