Monday 14 January 2008

REFORMASI AGRARIA, JANJI YANG BELUM JUGA TERPENUHI

Oleh: JANNES EUDES WAWA
JARANG petani menggelar unjuk rasa melibatkan ribuan orang di tempat dan waktu yang sama. Kalaupun hal itu terjadi, berarti mereka tengah menghadapi masalah berat. Salah satunya adalah sengketa pertanahan yang sudah berkali-kali terkuak, tapi tak juga tertuntaskan
"Kenyataan itulah yang selalu menimbulkan kegusaran petani sehingga mereka menuntut segera dilakukan reformasi. Apalagi telah tertuang dalam Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam," kata Koordinator Aliansi Gerakan Reforma Agraria Erfan Fariadi.
Selama ini, dalam mengatasi sengketa tanah, pemerintah dan pemilik modal cenderung menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan melalui aparat TNI, polisi, bahkan preman. Akibatnya, petani dan masyarakat adat selaku pemilik tanah menjadi tidak berdaya.
"Kami sudah tidak sanggup lagi menghadapi sengketa tanah. Segala cara digunakan pemerintah bersama para pemilik modal untuk mendapatkan tanah, dan kami selalu dikorbankan serta dikalahkan," tegas Dullah (62), petani asal Jambi saat berdemo di pintu gerbang kompleks MPR/DPR, Rabu (30/4), menuntut pembaruan agraria.
Sebetulnya sejak dua tahun silam, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah memerintahkan reformasi itu melalui ketetapan (Tap) Nomor IX/MPR/2001. Tap itu terdiri atas delapan bab.
Dalam tap itu ditegaskan arah kebijakan pembaruan agraria meliputi, pertama, melakukan pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor.
Kedua, melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Ketiga, menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
Keempat, menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum.
HARUS diakui, saat ini sektor pertanahan menghadapi beragam masalah yang pelik. Apalagi, jika dikaitkan dengan pengembangan sektor pertanian, perkebunan, dan sebagainya. Masalah itu pertama keterbatasan kemampuan petani dalam menguasai aset tanah. Kondisi ini sebagai akibat dari kebijakan selama rezim Orde Baru, di mana sejumlah warga telah kehilangan tanah/wilayah dan sumber mata pencaharian. Hal itu disebabkan tanah/wilayah tersebut dialihkan ke pengusaha hutan melalui sistem hak guna usaha (HGU) dengan luas yang tidak dibatasi.
Praktik tersebut semakin luar biasa setelah periode 1988. Saat itu terjadi peningkatan pemberian izin lokasi, baik untuk usaha perkebunan kelapa sawit, karet, kakao, dan sebagainya kepada pengusaha. Luas tanah yang dibebaskan pun tidak dibatasi dan seringkali melebihi kapasitas realistis pengusaha sehingga timbul penguasaan lahan yang berlebihan.
Dampak yang timbul tidak saja berbentuk ketimpangan tajam dalam masalah penguasaan tanah. Namun, lebih parah lagi adalah penelantaran tanah dalam jumlah besar sehingga menjadi tidak produktif, monopoli, dan mengurangi peluang usaha ekonomi kecil.
Kini, kenyataan di lapangan memperlihatkan, segelintir orang atau kelompok orang menguasai tanah dalam skala luas. Akan tetapi sebagian besar masyarakat bersusah payah untuk mampu menguasai tanah.
Kondisi ketimpangan penguasaan tanah ini memiliki dampak yang besar, baik secara ekonomis maupun politis. Hal tersebut semakin menyedihkan karena tanah yang dikuasai dalam skala yang luas tidak diimbangi dengan upaya pemanfaatan secara optimal.
Masalah ini memberi indikasi bahwa ketersediaan tanah tidak hanya ditentukan faktor fisik, tapi juga kelembagaan atau kebijakan pemerintah. "Hambatan institusional ini yang justru menyebabkan banyak tanah sebagai sumber daya untuk masyarakat luas menjadi mubazir," ujar Deputi Tata Laksana Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Heru Wijono.
Kedua adalah penyusutan lahan pertanian. Kenyataan ini akibat dari alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, perumahan, dan kegiatan komersial lainnya. Praktik itu paling banyak terjadi di Pulau Jawa. Padahal, wilayah ini masih menjadi andalan produksi beras di Indonesia.
Penyempitan lahan pertanian itu secara langsung meningkatkan jumlah petani gurem dengan luas pertanian sama atau lebih kecil dari 0,25 hektar. Untuk itu langkah pencegahan dan pengendalian alih fungsi lahan pertanian, terutama sawah, sudah sangat mendesak. Oleh karena itu penyusutan itu jelas merupakan suatu kendala serius bagi pengembangan pertanian di Indonesia.
Ketiga, keterbatasan modal. Kelangkaan modal itu dibarengi dengan kenyataan pelaku pertanian yang masih didominasi kelompok petani dengan skala usaha kecil sehingga kurang mampu mengakses sistem perkreditan formal. Kalaupun ada petani yang mendapatkan kredit, itu hanya mereka yang yang telah mapan ekonomi.
SEBETULNYA sejak empat dasawarsa silam telah dilakukan antisipasi terhadap penyempitan lahan pertanian. Hal itu ditandai dengan peluncuran program landreform (pembaruan agraria). Salah satu tujuan dari program itu adalah mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah.
Program itu dimulai setelah keluarnya seperangkat peraturan perundang-undangan landreform, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir, UU No 2/1960 tentang Bagi Hasil, UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan Pemerintah (PP) No 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, serta perangkat peraturan lainnya.
Akan tetapi, program landreform pada masa lalu itu tidak berhasil. Penyebabnya adalah rendahnya kemauan dan dukungan politik, tidak tersedianya biaya, data dan informasi, serta lain sebagainya.
Kegagalan itu membuat permasalahan agraria terus berlanjut sehingga perlu dilakukan pembaruan lagi pada masa reformasi ini. Pembaruan tersebut merupakan upaya untuk mengubah sistem penguasaan tanah dan sumber daya alam (bumi, air, udara, dan kekayaan alam lainnya). Termasuk memperbaiki jaminan kepastian penguasaan sumber daya itu bagi semua pihak yang memanfaatkannya.
Setelah itu, diikuti dengan perbaikan cara-cara pengelolaan tanah dan kekayaan alam lainnya dengan menyediakan fasilitas kredit, pendidikan dan latihan, asistensi teknis untuk perbaikan sistem produksi, dan kelangsungan daya dukung alam.
"Pendek kata, pembaruan agraria mencakup setiap upaya untuk menata ulang sistem penguasaan, produksi, dan pelayanan pendukungnya yang menjamin terjadi keadilan sosial," ungkap Wijono.
Dua tahun silam, timbul kembali kehendak yang kuat untuk melaksanakan pembaruan agraria. Hal ini ditandai dengan diterbitkan Tap MPR No IX/MPR/2001. Secara tegas, Tap MPR ini memberi mandat untuk melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan.
Dalam pembaruan itu harus pula memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat dan penyelesaian konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini. Selain itu, harus bisa mengantisipasi potensi konflik di masa depan guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
SEIRING dengan pembaruan agraria, perlu dilakukan program penguatan hak rakyat atas tanah dan pemberdayaannya. Program ini harus sinergi dengan melibatkan semua instansi yang terkait.
Tujuannya agar tanah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan cara memberdayakan petani melalui penguatan hak atas tanah. Langkah yang ditempuh adalah pertama, redistribusi tanah dengan pemberian hak milik atas tanah (termasuk sertifikat tanah); kedua, konsolidasi tanah; ketiga, kemitraan dengan pengusaha atau secara mandiri oleh petani.
Pemberdayaan meliputi pendampingan oleh pengusaha, pendanaan oleh lembaga keuangan, serta kelembagaan. Ini sebagai bentuk kemitraan. Program ini merupakan instrumen menyelesaikan konflik tanah perkebunan (HGU) yang telah digarap masyarakat dengan solusi yang adil.
Program tersebut diawali dengan redistribusi tanah sehingga memudahkan petani memperoleh akses terhadap tanah. Pola ini sekaligus sebagai upaya pemerataan penguasaan dan pemilikan tanah dengan dilengkapi sertifikat.
Setelah itu, pendampingan terus berjalan demi mencegah aksi penjualan tanah oleh petani. Oleh karena itu diperlukan program pascarestribusi sebagai tindak lanjut yang memberi kesempatan kepada petani untuk memperoleh bantuan kredit.
Bantuan ini antara lain, kredit ketahanan pangan dan kredit usaha dengan syarat yang ringan, pemasaran, pelatihan, bibit, manajemen, teknologi, dan sebagainya. Termasuk menyangkut produksi dan distribusi (pemasaran).
"Jadi, kegiatan redistribusi tanah negara tidak sebatas pembagian tanah kepada petani sesuai PP Nomor 224 Tahun 1961. Akan tetapi, kegiatan itu juga merupakan upaya penyelesaian konflik pertanahan," kata Rajito Insanyoto, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Lampung.
Tanah yang perlu diredistribusi antara lain, tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara lalu tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara. Selain itu, tanah-tanah perkebunan (HGU) yang tidak diusahakan secara maksimal bisa dijadikan obyek penataan penguasaan tanah.
Memang, perkebunan (HGU) memberi kontribusi terhadap pendapatan nasional yang cukup besar. Hanya saja kenyataan menunjukkan, keberadaan perkebunan seringkali tidak memberi dampak langsung terhadap masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan itu.
Ada empat alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan, yakni tanah HGU yang tidak diusahakan sesuai dengan tujuan pemberian hak; tanah HGU yang tidak dikuasai dengan tujuan pemberian hak; tanah HGU yang habis masa penguasaan, dan tidak diperpanjang lagi; dan tanah lebih luas dari tanah yang telah tercatat dalam HGU yang bersangkutan.
"Namun, pelaksanaan landreform menuntut adanya institusi yang kuat pada tingkat lokal, didukung oleh data dan informasi yang lengkap serta akurat. Institusi ini diperlukan sebelum, selama, dan sesudah landreform," tegas Wijono.
YANG harus menjadi sasaran dari program penguatan hak rakyat atas tanah, antara lain, pertama, tanah yang telah dimiliki petani, tetapi belum memiliki sertifikat. Kedua, tanah yang telah digarap petani selama puluhan tahun berasal dari tanah negara, bekas HGU yang habis masa berlakunya, tetapi tak diperpanjang.
Ketiga, tanah kebun yang berasal dari pengusaha kebun secara fisik melebihi luas lahan yang ditetapkan dalam HGU. Keempat, tanah kebun yang dijual oleh pengusaha kebun untuk dijadikan plasma, yang dibeli masyarakat dengan dana yang dikucurkan dari kredit koperasi primer pada anggota (KKPA).
Kelima, tanah yang dimiliki rakyat setempat, tapi tak mempunyai dana untuk penerbitan sertifikat tanah. Bahkan, mereka tidak memiliki akses untuk memperoleh KKPA.
"Untuk kasus tersebut masyarakat dapat bergabung dengan koperasi yang dapat mendanai terlebih dahulu biaya sertifikasi dan memperoleh tanah dengan luas yang disepakati dari tanah yang dimiliki rakyat setempat," kata Wijono.
Sejak 1960, pascapemberlakuan UU Pokok Agraria telah diterbitkan 23,6 juta sertifikat tanah (lihat tabel). Dari jumlah itu, sebanyak 66 persen merupakan hasil pendaftaran secara sporadis (inisiatif pemilik tanah). Sisanya 34 persen adalah hasil kegiatan secara sistematik (inisiatif pemerintah).
Harus diingat, sertifikat yang diterbitkan itu baru mencakup sebagian kecil dari total tanah di Indonesia yang seharusnya dilegalisasi. Penyebabnya antara lain, kinerja pelayanan aparat masih sangat rendah, pengelolaan data pertanahan masih manual, dan keterbatasan anggaran.
Akibatnya, pelayanan lambat, berbelit-belit, biaya mahal, dan timbul sertifikat ganda. Dampak susulannya adalah makin sulit ditetapkan harga tanah yang layak dan adil.
Lihat saja kasus di Lampung. Di sana telah selesai diproses 24.000 persil sertifikat tanah. Tetapi yang diserahkan kepada petani pemilik baru 11.000 persil, sedangkan 13.000 persil belum diambil pemiliknya sebab tak sanggup membayar biaya sebesar Rp 350.000 per persil.
Sepertinya pembaruan agraria yang seharusnya menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi dan politik seakan menjadi mimpi panjang yang tak terselesaikan. Apalagi, tinggal setahun lagi Pemilu 2004 akan tiba. Sakit dan memprihatinkan bagi petani. Tetapi, itulah hidup di negara yang memiliki pemimpin gemar mengumbar janji. (JANNES EUDES WAWA)

No comments:

Post a Comment